Thursday, January 21, 2010

PERTEMUAN CINTA

KETIKA CINTA BERTASBIH 2
KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY

Episod 7 PERTEMUAN CINTA

”Sepuluh menit lagi kita akan mendarat di Bandara Soekarno Hatta.” Kata Eliana pada Azzam yang duduk di sampingnya. Azzam diam menikmati gelombang keharuan dan kebahagiaan dalam hatinya. Kedua matanya berkaca-kaca. Ia hampir-hampir tidak percaya bahwa akhirnya ia bisa pulang juga. Pulang ke tanah air tercinta untuk bertemu dengan orang-orang yang sangat dirindukannya.

”Kau menangis Mas Irul?”

Azzam mengangguk. Di pelupuk matanya ada ibu dan ketiga adiknya. Kemarin sebelum meninggalkan Cairo ia sempat kirim sms kepada Husna bahwa ia akan sampai hari ini di Jakarta. Ia tidak minta sang adik menjemputnya. Namun ia berharap ketika ia sampai di bandara ada yang menjemputnya.

”Apa yang membuatmu menangis Mas?” Eliana lagi. Azzam menyeka air matanya. Ia memandang wajah Eliana sesaat seraya berkata,

”Sudah sembilan tahun aku meninggalkan tanah air. Sudah sembilan tahun aku berpisah dengan ibuku dan adik-adikku. Aku terharu bahwa akhirnya aku bisa pulang ke Indonesia. Aku akan bertemu dengan keluarga. Apakah aku tidak boleh menangis karena haru dan bahagia? Apakah aku tidak boleh menangis karena bersyukur bahwa aku akan kembali menginjak tanah air tercinta?”

”Kau benar. Aku baru tahu kalau selama itu kau meninggalkan Indonesia dan selama itu pula kau tidak pernah bertemu keluarga. Kau sungguh orang yang sabar dan tabah.”

”Aku tidak sesabar dan setabah yang kau kira.”

”Paling tidak kau membuatku salut.” Pesawat semakin rendah. Semakin mendekati bumi. Akhirnya siang itu, tepat jam dua siang pesawat yang ditumpangi Azzam mendarat di landasan Bandara Internasional Soekarno Hatta dengan selamat. Arus kebahagiaan merasuk ke dalam hatinya dengan deras, kuat dan tajam. Berkali-kali ia memuji kebesaran Allah atas limpahan nikmatnya.

”Aku datang Indonesia tercinta! Aku datang ibunda tercinta! Aku datang adik-adikku tercinta!” Pekiknya dalam hati dengan mata berkaca-kaca. Azzam berjalan beriringan dengan Eliana.

”Mas Irul ada yang jemput?” Tanya Eliana.

”Tidak tahu pasti. Mungkin saja ada.” Jawab Azzam.

”Kalau tidak ada yang menjemput bareng aku saja. Istirahat saja dulu di rumahku. Baru besok pulang ke Solo. Bagaimana?”

”Tak tahu. Nanti sajalah jika sudah di luar sana.” Mereka berdua melangkah menuju loket imigrasi, lalu mengambil bagasi.

Barang bawaan Azzam jauh lebih banyak dibandingkan Eliana. Eliana hanya membawa tas kecil dan kopor ukuran sedang yang bisa ditarik dengan santai. Setelah melewati bea cukai hati Azzam berdebar, jantungnya berdegup kencang. Syaraf-syarafnya bergetar. Ia sangat yakin ada yang menunggunya di luar. Azzam keluar dengan hati bergetar. Ia melangkah sedikit di depan Eliana. Ia melihat banyak orang bawa kamera. Seperti membidik dirinya. Ia mendengar seseorang memanggil-manggil namanya. Suara anak perempuan. Ia mencari-cari asal suara. Matanya bertemu dengan mata gadis manis berkerudung hijau muda. Gadis itu adalah Husna. Azzam menghambur ke arah adiknya. Sang adik juga bergegas menghambur ke arah kakaknya. Keduanya berpelukan sambil menangis penuh haru. Sembilan tahun tidak bertemu akhirnya bertemu. Husna menangis terisak-isak dalam pelukan kakaknya tercinta. Kakak yang sangat dirindukannya siang dan malam. Kakak yang menjadi pahlawan baginya yang telah membiayai hidup dan sekolahnya. Juga sekolah adik adiknya. Tubuh kakaknya itu begitu kurus. Wajahnya lebih tua dari umurnya. Eliana menyaksikan adegan itu dengan hati haru. Ia juga meneteskan air mata, tapi segera ia hapus dengan sapu tangannya. Belasan wartawan terus membidikkan gambar ke arahnya. Seorang pria setengah baya datang mengawalnya. Sejurus kemudian ia sudah dikepung belasan wartawan yang ternyata sudah menunggu sejak pagi untuk mewawancarainya. Azzam melepaskan pelukannya pada adiknya.

”Sendirian Dik?” Tanya Azzam sambil menyeka air matanya.

”Iya, Husna ke Jakarta sendiri. Tapi ke sini Husna ditemani dua orang teman. Itu, mereka berdiri di sana memandangi kita. Mereka kakak beradik Rina dan Luna.”

”Bue dan adik-adik tidak ikut kenapa?”

”Jakarta itu jauh Kak. Takut ibu malah sakit. Lia harus mengajar, di samping juga harus menemani Bue. Si Sarah di pesantren.”

”Ya sudah tidak apa-apa. Terima kasih Dik ya, sudah menjemput kakak.”

”Tidak perlu berterima kasih atas sebuah kewajiban Kak.”

”Kapan kau sampai ke Jakarta?”

”Kemarin pagi. Terus tadi malam Husna menginap di rumah Rina.”

”Ini kita mau ke mana?”

”Kita ke Cikini Kak. Ke hotel yang disediakan panitia untuk Husna. Kan nanti malam acara penganugerahan penghargaan itu seperti yang pernah Husna ceritakan di surat. Ayo kita temui Rina dan Luna.”

”Ayo.”
Azzam mendorong barang bawaannya mengikuti langkah Husna ke arah dua gadis yang berdiri tenang. Eliana masih sibuk dengan wawancaranya.

”Rin, Lun, ini kakakku yang aku ceritakan itu. Kak Khairul Azzam.” Azzam menelungkupkan kedua tangannya di dada sambil mengangguk pada Rina dan Luna. Kedua gadis itu melakukan hal yang sama seraya berkata,

”Selamat datang kembali di Indonesia!”

”Terima kasih.” Jawab Azzam.

”Mbak Husna, itu yang dikerubuti wartawan kelihatannya Eliana Alam deh.” Ujar Luna yang sangat ngefans sama Eliana.

”Wah aku kok tidak begitu memperhatikan ya.” Javvab Husna sambil melongok ke arah keramaian orang yang membawa kamera.

”Maklum, konsentrasinya sepenuhnya pada sang kakak yang sudah sembilan tahun tidak bertemu.” Tukas Rina sambil tersenyum.

”Memang benar.” Jawab Husna ringan.

”Yang dimaksud Eliana Pramesti Alam?” Tanya Azzam.

”Betul Mas. Itu lho bintang sinetron Dewi-Dewi Cinta? Mas Azzam kenal dia? Tadi satu pesawat ya?” Seru Luna heboh.

”Iya itu memang Eliana Pramesti Alam. Saya kenal baik dengan dia. Tadi bahkan duduk satu bangku dengannya.” Jawab Azzam santai.

”Hebat! Mas Azzam pacarnya ya?” Timpal Luna tanpa dosa.

”Hus! Kau ada-ada saja!” Rina membentak adiknya yang menurutnya sudah keterlaluan. Husna dan Azzam tersenyum saja mendengarnya.

”Mas bisa tidak, aku dikenalkan sama dia? Aku ingin foto bareng sama dia. Biar heboh teman-teman di kantor.”

”Bisa. Kita temui dia saja sekarang, nanti dia keburu pergi!” Ajak
Azzam.

”Mbak Rina di sini saja ya. Nunggu barang-barang. Kalau tidak ditunggu nanti hilang.” Seru Luna riang.

Dengan muka agak cemberut Rina menjawab, ”Ya. Fotolah sepuaspuasnya!” Azzam, Husna dan Luna melangkah ke arah kerumunan. Sambil berjalan Luna menyerahkan handphone kameranya pada Husna. Ia menjelaskan bagaimana caranya mengambil gambar.

Azzam menerobos kerumunan diikuti Husna dan Luna. Begitu sampai di samping Eliana Azzam berkata,

”Mbak, kenalkan ini adikku Husna dan temannya Luna.”

”Oh ya. Saya Eliana.”

Husna dan Luna menjabat tangan Eliana. Luna langsung menggeser tubuhnya dan berdiri di samping kanan Eliana. Dan Azzam ada di samping kiri Eliana. Sementara Husna sedikit mundur. Eliana mau mengatakan sesuatu pada Azzam, tiba-tiba seorang wartawan televise bertanya,

”Saat ini kalau boleh tahu siapa pria paling dekat dengan Eliana?”

Eliana agak terhenyak menjawab pertanyaan itu. ”Apa tadi?” Ia purapura kurang dengar.

Siapa pria paling dekat dengan Eliana saat ini?” Wartawan itu mengulang dengan suara lebih keras.

”Em... siapa ya. Yang paling dekat saat ini seorang mahasiswa di Cairo namanya Khairul Azzam!” Jawab Eliana sekenanya.

Husna dan Luna kaget. Keduanya berpandangan. Azzam lebih kaget. Ia tidak percaya apa yang didengarnya.

”Orang itu sekarang ada di mana?” Kejar wartawan itu.

”Ini di samping saya.” Jawab Eliana santai, ia benar benar sang penguasa keadaan saat itu.
Seketika moncong kamera dan belasan alat perekam mengarah ke Azzam.

”Sejak kapan Anda kenal Eliana?” Tanya seorang wartawan.

”Aduh, ini apa-apaan!” Seru Azzam panik.

”Santai saja Mas. Kita kooperatif saja jadi enak. Sejak kapan Anda kenal Eliana?”

”Aduh, gimana ini. Mbak Eliana, bicara dong. Wah kok jadi rumit begini sih!” Kata Azzam pada Eliana.

”Dia tidak biasa menghadapi wartawan. Kami kenal sejak satu tahun yang lalu.” Sahut Eliana dengan tenang.

”Benar kamu dekat dengan Eliana?” Cerocos seorang wartawan koran ibu kota.
”Kebetulan tadi kami satu pesawat dan tempat duduknya berdekatan. Saya di 15 F, dia di 15 E. Jadi kami memang dekat.” Jawab Azzam juga sekenanya.

”Apa profesi Mas saat ini?”

”Jualan bakso.”

”Ah, jangan bergurau Mas.”

”Sungguh. Tanya saja pada Eliana!” Wartawan itu langsung bertanya pada Eliana,

”Benarkah dia berjualan bakso?”

”Ya benar. Para diplomat adalah para pelanggannya.” Jawab Eliana.

”Wah seorang entrepreneur! Keren ya Mbak?” Wartawan itu berkomentar.

”Iya dong. Dia pria paling keren yang pernah aku temui.” Kata Eliana santai menanggapi komentar wartawan itu. Eliana lalu mencondongkan kepalanya ke arah telinga Azzam dan berbisik,

”Hei, Mas, jadinya bagaimana? Mau ikut ke rumahku?” Azzam menggelengkan kepala.

”Kenapa?” Tanya Eliana berbisik. Kepalanya masih condong ke arah Azzam. Puluhan kamera mengabadikan peristiwa itu. Eliana cuek saja. Azzam tak tahu harus bagaimana.

”Aku sama adikku ada hotel.” Jawab Azzam juga setengah berbisik.

”Ya sudah kalau begitu. Nanti kalau aku ke Solo boleh mampir?”

”Boleh.” Jawab Azzam sambil mengangguk. Beberapa wartawan mencatat dialog lirih Eliana dengan Azzam. Mereka mencatat beberapa kalimat yang mereka dengar lalu mengembangkan dengan imajinasi mereka. Azzam pamit pada Eliana. Ia hanya menelungkupkan tangan di dada. Lalu beranjak pergi.

”Tidak ada cipika cipiki (Cium pipi kanan, cium pipi kiri) Mas?” Tanya seorang wartawan usil.Azzam tidak menjawab, yang menjawab malah Eliana,

”Dia itu mahasiswa Al Azhar Cairo, masak cium pipi kanan pipi kiri. Kan belum halal! Ngerti!?”

”Wah sekarang pacar Eliana ’alim ya. Bisa jadi berita menarik ini.” Komentar seorang wartawan.

”Boleh saja. Okay, teman-teman wartawan semua. Aku pamit dulu. Terima kasih ya semuanya.”

Eliana melangkah pergi. Beberapa wartawan masih mengabadikan wajah Eliana yang tampak lelah namun tetap cantik di kamera mereka. Pria setengah baya yang datang untuk menjemput dan mengawal Eliana langsung mengambil peran. Dengan sekuat tenaga ia menyibak jalan dan membawa Eliana ke mobil Toyota Camry yang telah siap menunggu. Begitu Eliana dan pria setengah baya itu masuk, Camry itu langsung meluncur tergesa.

Azzam melangkah bersama Husna dan Luna ke tempat Rina menunggu. Husna belum bisa memahami apa yang baru saja dilihatnya. Bagaimana mungkin kakaknya begitu dekat dengan Eliana. Seolah tidak ada jarak. Ia ingin langsung banyak bertanya, tapi ia lihat muka kakaknya sedang benar-benar lelah. Ia tidak tega. Dua orang wartawan datang minta wawancara. Dengan tegas Husna mengamankan kakaknya. Seorang sopir taksi menawarkan jasanya, Azzam langsung mengiyakan. Dengan sigap ia memasukkan barang bawaannya dibantu sopir taksi yang kekar dan muda. Azzam lalu masuk duduk di depan. Husna, Rina dan Luna duduk di belakang.

”Ke mana Bang?” Tanya sopir taksi kepada Azzam sarmbil menghidupkan argo.

”Ke mana Dik?” Tanya Azzam pada Husna.

”Ke Hotel Sofyan Cikini Bang, yang dekat dengan TIM ya Bang.” Jawab Husna.

”Baik.”

Taksi itu lalu meluncur perlahan meninggalkan Bandara. Luna diamdiam kagum pada Azzam. Rasa kagumnya pada Azzam sama dengan rasa kagumnya pada Eliana.

”Ternyata kakak Mbak Husna selebritis juga ya. Nanti aku minta foto bareng ya.” Celetuk Luna.

”Ah kamu ini foto melulu yang dipikir. Udah ah, jangan mengganggu orang dong!” Ujar Rina setengah membentak pada adiknya.

”Saya ini bukan selebritis kok Dik. Saya ini cuma penjual tempe dan bakso di Cairo. Sungguh. Kebetulan di antara yang sering pesan bakso saya ayahnya Eliana dan Eliana sendiri. Ayahnya Eliana itu kan Dubes Indonesia di Mesir. Jadi saya kenal baik dengan Eliana. Tadi itu kan Eliana tidak serius. Dia main-main. Dia mengerjain saya! Wah punya kenalan artis ini jadi repot!” Jelas Azzam panjang lebar. Ia tahu adiknya dan dua gadis temannya itu pasti mengira yang bukan-bukan pada dirinya.

”Tapi aku yakin besok pagi wawancara tadi bakal jadi head line surat kabar dan akan jadi berita dan gosip tidak ada habis-habisnya di infotainment.” Ujar Luna.

“Biarin saja. Kayak gitu tidak usah diurus, hanya menghabiskan umur saja.” Sahut Azzam tenang.

Sampai di hotel Husna mengajak ke kamar yang telah ia pesan untuk kakaknya. Kamar kakaknya berdampingan dengan kamarnya. Ia sudah check in di hotel itu sejak pagi sebelum berangkat ke bandara. Hotel yang dipilihkan panitia itu terbilang islami dan paling dekat dengan tempat acaranya.

”Kakak istirahat saja dulu. Nanti selepas maghrib kita berangkat ke TIM. Acaranya nanti jam tujuh malam.” Ujar Husna sambil menata barang-barang bawaan kakaknya.

”Iya Dik. Kau pun kelihatannya juga lelah. Istirahatlah dulu!”

”Baik.”

”Eh, Dik, dua temanmu itu sudah pulang?”

”Belum, mereka ada di kamar. Mereka juga mau lihat acara nanti Malam. Usai acara baru mereka akan pulang. Oh ya itu Si Luna tetap ingin foto bareng Kak Azzam, bagaimana?”

”Ya nggak apa-apa asal nanti kamu ikut foto.”

”Baik Husna akan sampaikan. Dia itu penggemar berat Eliana. Wah dia merasa seperti mimpi katanya bertemu Eliana. Awalnya tadi pagi Luna tidak mau ikut tapi dipaksa sama Rina. Jadilah dia ikut. Tadi pagi selama perjalanan dia uring-uringan terus sama kakaknya, sampai Husna tidak enak dibuatnya. Sekarang ia berterima kasih berkali kali sama kakaknya. Oh ya Kak, ayah dan ibu mereka titip alam. Sebenarnya ayah dan ibunya Rina mau ikut jemput, tapi tidak jadi karena ternyata mereka punya janji dengan kolega. Ibunya Rina itu ingin sekali bertemu kakak. Baiklah Kak, Husna ke kamar dulu ya?”

”Eh, nanti jam setengah lima aku dibangunkan ya Dik?”

”Iya kak.”

Husna pergi ke kamarnya. Azzam menutup pintu lalu rebahan. Husna yang ia temui sekarang sudah sangat berbeda dengan Husna sembilan tahun silam. Sekarang tampak lebih anggun dan dewasa. Ia jadi semakin penasaran seperti apa Lia? Juga ibunya. Seperti apa dukuh Sraten sekarang? Apakah masih seperti sembilan tahun silam? Ataukah telah banyak perubahan? Dan Pak Masykur yang dulu

pernah memarahi dirinya dan teman temannya karena bergurau saat shalat Jumat, bagaimanakah kabar beliau sekarang? Akhirnya rasa lelah membawa Azzam tidur pelan-pelan.

* * *
Usai shalat maghrib mereka berempat berjalan kaki ke TIM. Pusat budaya yang ada di jantung kota Jakarta itu tak pernah sepi darikarya cipta. Pertunjukan seni, diskusi, pagelaran budaya, dan
peluncuran karya hampir selalu ada tiap bulannya. Malam itu, Diknas menggelar acara penganugerahan penghargaan kepada karya-karya terbaik di bidang sastra. Diknas menggolongkan penghargaan dalam tiga kategori. Kategori pertama, karya sastra untuk anak-anak. Kedua, karya sastra untuk remaja. Dan ketiga, karya sastra untuk dewasa. Masing-masing dipilih sepuluh terbaiknasional. Jadi semuanya ada tiga puluh orang yang mendapat penghargaan. Kumpulan cerpen ’Menari Bersama Ombak’ yang ditulis Husna meraih penghargaan karya terbaik nomor 1 kategori karya sastra untuk remaja. Buku Husna itu mengalahkan seratus lima puluh tujuh judul buku yang diseleksi oleh Diknas. Mereka berjalan santai. Sepuluh menit kemudian mereka sampai di gerbang TIM.

”Ini tho yang namanya Taman Ismail Marzuki yang terkenal itu.” Ujar Azzam dengan perasaan gembira yang meluap. Ia sudah lama mendengar nama TIM. Tapi baru malam itu sampai di gerbangnya. Gerbang TIM tampak semarak. Belasan warung tenda berjejer menyambut siapa saja yang datang ke sana.

”Acaranya di gedung apa Na?” Tanya Rina.

”Di Graha Bhakti Budaya.” Jawab Husna.

”Kita langsung ke sana saja. Gedung itu muat untuk sekitar delapan ratus orang. Kalau malam ini pengunjungnya membludak kita bias tidak dapat tempat kalau terlambat. Ayo!” Seru Rina.

”Iya, apalagi akan ada beberapa artis ibu kota yang akan membaca puisi.” Sahut Husna

”Pasti membludak!” Yakin Rina sambil mempercepat langkah. Husna, Azzam, dan Luna mengikuti iramanya.

”Wah, kalau banyak artis yang datang, ini acara seru juga.” Seloroh Luna.

”Apa kalau tidak ada artis yang datang tidak seru?” Tanya Rina dengan nada tidak sepakat.

”Ya bukan begitu. Maksudnya semakin seru dengan datangnya artis. Wah susah menjelaskan.” Sengit Luna.

”Apa-apa kok timbangannya artis. Memang artis itu nabi apa, kok selalu dijadikan timbangan?” Imbuh Rina dengan sinis.

”Tak tahu ah. Yang penting nanti akan aku abadikan Mbak Husna saat menerima penghargaan sebaik baiknya.” Ujar Luna sambil melirik Husna yang melangkah tenang. Graha Bhakti Budaya hampir penuh terisi orang. Husna dan rombongannya menemui panitia. Mereka berempat lalu dicarikan tempat agak depan. Tepat pukul sembilan belas malam acara dimulai. Ada sesuatu yang membuat mereka berempat terkesima, yaitu sang pembawa acaranya, yang tak lain adalah Eliana Pramesti Alam. Artis muda yang sedang naik daun dan paling diminati para pemirsa televisi di tanah air. Eliana tampak begitu anggun dalam balutan kebaya ala Betawi. Puluhan kamera langsung mengambil gambarnya begitu ia berdiri di tengah panggung. Acara disiarkan secara langsung di dua stasiun televisi swasta terkemuka. Eliana membuka acara itu dengan bersama sama membaca Al Fatihah. Kemudian ia mempersilakan ketua panitia memberikan sambutannya. Setelah itu Eliana langsung meminta Bapak Menteri Pendidikan untuk menyampaikan pidato kebudayaannya. Bapak Menteri berpidato hanya lima belas menit. Eliana langsung memanggil seorang penyair perempuan untuk membacakan puisinya. Seorang perempuan berjilbab maju ke panggung. Berjalan anggun. Dan berdiri di panggung dengan anggun. Setelah salam, perempuan itu membuka kalimatnya,

“Perkenankan aku membaca sebuah puisi, yang aku tulis dikertas ini dengan tetesan air mata. Sebuah puisi untuk anak-anak Irak yang teraniaya. Judulnya Pohon Zaitun Masih Berbunga.”

Seluruh hadirin diam. Graha Bhakti Budaya sesaat senyap. Semua mata tertuju pada gerak gerik sang penyair di depan. Penyair perempuan itu lalu membaca puisinya dengan segenap penghayatan. Suara emasnya menyihir siapa saja yang mendengarkan,

Di kota Basrah
Seorang ibu melagu
Di depan ayunan bayinya
Mendendangkan lagu sayang
Tidurlah nak, malam masih panjang
Pohon zaitun di halaman masih berbunga
Katakan pada dunia kita masih ada
Seribu satu cerita masih aku punya
Untuk mengantarkan kau dewasa
Syahrazad mungkin habis cerita
Tak menyangka di ujung umur dunia
Seorang durja memporak porandakan negeri kita
Namun doa Rabiah
Membuka pintu Tuhan
Pintalah apa yang bisa kau pinta
Pintalah Zaitun tetap berbunga
Pintalah darah syuhada menjadi pupuknya
Pintalah negeri kita tetap ada
Pintalah apa yang bisa kau pinta
Pintalah nak
Pinta
Tuhan menjaga. (Puisi karya Falin Hamama, diambil dari Antologi Puisi Perempuan Penyair)


Semua yang hadir terkesima. Azzam menghayati kandungan puisi itu dengan hati basah dan mata berkaca-kaca. Demikian juga Husna yang halus perasaannya. Begitu sang penyair itu selesai membacakan puisinya, gedung itu luruh dalam gemuruh tepuk tangan hadirin yang tersentuh hatinya. Beberapa orang malah meneriakkan takbir secara spontan dan tiba-tiba.

”Selanjutnya untuk membacakan lagi, sebuah puisi saya panggilkan seorang artis papan atas Indonesia. Seorang artis berbakat yang sudah go international. Kita panggil Emira Giza Humaira!” Kalimat Eliana langsung disambut tepuk tangan hadirin dengan semeriah-meriahnya. Seorang artis yang tidak asing, yang biasa dipanggil Giza maju memakai gaun malam panjang hijau tua. Tanpa sebuah pengantar ia membacakan sebuah puisi pendek berjudul ”Tuhan Mabukkanlah Aku” dengan penuh penghayatan,

Tuhan mabukkanlah aku
Dengan anggur cinta-Mu
Rantai kaki erat-erat
Kuraslah seluruh isi diriku
Kecuali cinta-Mu
Lalu recai daku
Hidupkan lagi diriku
Laparku yang maha pada-Mu
Telah membuatku Berlimpah karunia. (Puisi karya penyair sufi dari Persia bernama Anshari, diterjemahkan oleh Abdul Hadi W.M.)

Giza membaca penuh penghayatan dan mengakhirinya dengan setetes air mata. Sebuah akting yang nyaris sempurna. Diam-diam Eliana memperhatikan dengan seksama segala kelebihan akting Giza yang lebih senior darinya. Ia memperhatikan untuk belajar darinya. Lalu tibalah acara inti. Pengumuman dan penganugerahan penghargaan karya sastra terbaik tingkat nasional. Para pemenang dipanggil berurutan perkategori. Dan pemenang pertama perkategori diminta memberi sambutannya. Akhirnya sampailah nama Ayatul Husna diucapkan oleh bibir Eliana. Husna bangkit dan maju diiringi gemuruh tepuk tangan. Lalu sembilan nama menyusul di belakangnya. Sampai di depan panggung Eliana agak terkejut melihat Husna. Ia tahu yang berdiri di panggung sebagai pemenang pertama adalah adiknya Azzam. Matanya mencari-cari sosok Azzam. Akhirnya ketemu juga. Ia melihat Azzam, tapi Azzam sedang memusatkan perhatiannya pada adiknya. Hatinya dipenuhi gelombang bahagia yang membuncah-buncah luar biasa. Setelah menerima piala penghargaan, Husna memberikan sambutan.

”Piala ini aku hadiahkan yang pertama untuk kakakku. Dialah pahlawanku yang mati-matian membiayai hidup dan kuliahku ketika ayah telah tiada. Kakakku yang membanting tulang dengan jualan tempe dan bakso di Cairo demi adik-adik yang dicintainya. Untuk kakakku yang baru tiba di Indonesia setelah sembilan tahun lamanya tidak bisa pulang ke Indonesia demi memperjuangkan nasib adik-adiknya, aku hadiahkan penghargaan ini. Dan di hari bahagia ini menyambut kepulangannya, perkenankan aku membacakan puisi yang baru tadi sore aku tulis untuknya. Judulnya ”Kau Mencintaiku.”

Kau mencintaiku
Seperti bumi Mencintai titah Tuhannya.
Tak pernah lelah Menanggung beban derita
Tak pernah lelah Menghisap luka
Kau mencintaiku
Seperti matahari Mencintai titah Tuhannya
Tak pernah lelah Membagi cerah cahaya
Tak pernah lelah Menghangatkan jiwa
Kau mencintaiku
Seperti air Mencintai titah Tuhannya
Tak pernah lelah Membersihkan lara
Tak pernah lelah Menyejukkan dahaga
Kau mencintaiku
Seperti bunga Mencintai titah Tuhannya
Tak pernah lelah Menebar mekar aroma bahagia
Tak pernah lelah Meneduhkan gelisah nyala

Azzam tidak bisa menahan harunya. Ia meneteskan air mata bahagia di tempat duduknya. Acara itu disiarkan langsung ke seluruh Indonesia. Sambutan Husna itu disaksikan oleh jutaan manusia, termasuk ibu dan adiknya Lia di Kartasura. Anna Altafunnisa dan keluarganya di Wangen. Furqan dan keluarganya di Jakarta. Juga teman teman kerjanya di UNS dan radio JPMI Solo. Sambutan dan puisi Husna begitu menggugah dan bermakna.

Dan diam-diam, Eliana harus merasa kagum pada Azzam dan adiknya. Ia tidak mengira akan sedahsyat ini hasil jerih payah Azzam. Ia tidak bisa lagi meremehkan Azzam hanyalah seorang pemuda pembuat bakso dan tempe. Ia merasa Azzam pemuda yang langka di persada nusantara. Dan dengan sangat halus sekali ada rasa kagum menyusup ke dalam hati Eliana. Kagum pada pemuda kurus bernama Khairul Azzam.

Eliana teringat apa yang tadi siang ia lakukan pada Azzam. Ia memang murni mengerjai Azzam dan para wartawan. Ia jadi malu karenanya. Namun ia merasa tidak akan menyesal jika digosipkan oleh siapa saja kalau dirinya dekat dengan pemuda itu. Ia tidak akan menyesal. Sebab ia kini telah tahu kualitasnya. Azzam, secara akademik memang kalah dengan Furqan yang beberapa waktu terus dikejarnya. Namun dalam ujian hidup nyata Azzam sudah menunjukkan karakternya. Dalam hati, Eliana meneguhkan selesai acara ia akan mengajak Azzam dan adiknya makan malam bersama. Ia merasa malam itu benar-benar salah satu malam yang berbeda baginya.


to be continue............

No comments:

Post a Comment

LOVELY LOVER