Monday, January 18, 2010

IKATAN BATIN

KETIKA CINTA BERTASBIH 2
KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY
Episod 2 IKATAN BATIN

Sore itu dengan pembacaan surat Al Fatihah ikatan pertunangan Anna Althafunnisa dengan Furqan resmi sudah. Peristiwa itu disaksikan oleh tokoh-tokoh terpenting dari dua keluarga, belasan Kiai pengasuh pesantren dan para pemuka masyarakat desa Wangen. Anna tampak anggun dengan dalam balutan jilbab dan jubah panjangnya berwarna biru muda. Kecantikannya dipuji oleh keluarga Furqan. Nyonya Maylaf, ibu Furqan, yang tergolong wanita yang tidak mudah memuji kecantikan orang lain, saat itu tidak mampu untuk menahan pujiannya.

“Pa, calon menantu kita ini kecantikannya sungguh menggugah,” bisik Bu Maylaf Pada Pak Andi Hasan, suaminya. Andi Hasan mengangguk pelan. Sedangkan Furqan tampak gagah dengan koko biru tuanya. Jika disandingkan dengan Anna pastilah pakaian keduanya akan tampak sangat serasi. Sore itu Furqan mampu menyembunyikan segala muramnya.

”Padahal tidak ada kesepakatan kok baju Anna dan Nak Furqan bias serasi ya.” Seru Kiai Lutfi Hakim, ayah Anna Althafunnisa sambil tersenyum.

”Ini namanya benar-benar jodoh Pak Kiai.” Sahut Bu Maylaf.

”Sudan ada kontak batin yang memadukan, bukankah begitu Fur?” Sambung Pak Andi Hasan sambil melirik Furqan. Furqan hanya tersenyum. Anna menunduk memandang lantai. Kalimat-kalimat itu semakin meneguhkan keyakinannya bahwa inilah sejarah hidupnya. Bahwa Furqan adalah bagian dari sejarah masa depannya. Sore itu juga disepakati hari, waktu, dan tempat akad nikah. Setelah dialog penuh kehangatan tercapai kesepakatan bahwa akad dan pesta walimah diadakan di desa Wangen. Di Pesantren Daarul Quran. Sementara di Jakarta hanya acara semacam syukuran yang akan diadakan di sebuah hotel berbintang di bilangan Cikini. Akad nikah akan dilangsungkan pada hari Jumat kedua bulan Agustus. Lalu disambung walimah selama dua hari yaitu, hari Sabtu dan Ahad. Yang menarik sebelum hari akad dan walimah disepakati, Anna Althafunnisa mengajukan syarat kepada Furqan jika tetap ingin menikahinya. Syarat yang sempat membuat perdebatan sengit antara Anna dan Furqan.

”Saya punya syarat yang syarat ini menjadi bagian dari sahnya akad nikah. Artinya farji saya halal diantaranya jika syarat saya ini dipenuhi oleh Mas Furqan.” Kata Anna di majelis musyawarah itu.
”Apa itu syaratnya?” Tanya Furqan.

”Pertama, setelah menikah saya harus tinggal di sini. Saya tidak mau tinggal selain di lingkungan pesantren ini. Kedua, saya mau dinikah dengan syarat selama saya hidup dan saya masih bisa menunaikan kewajiban saya sebagai isteri, Mas Furqan tidak boleh menikah dengan perempuan lain!” Dengan tegas Anna menjelaskan syarat yang diinginkannya. Kalimat yang diucapkan itu cukup membuat kaget Furqan dan keluarganya.

”Apa syarat-syarat itu tidak mengada-ada?” Kata Pak Andi Hasan, ayah Furqan.

”Tidak. Sama sekali tidak. Para ulama sudah membahasnya panjang lebar. Dan syarat yang saya ajukan ini sah dan boleh.” Jawab Anna.

Pak Kiai Lutfi diam saja. Dia percaya bahwa putrinya pasti bias memperjuangkan apa yang menjadi maslahat bagi masa depannya.

”Maaf, untuk syarat pertama saya rasa tidak ada masalah. Itu sah dan boleh-boleh saja. Tapi untuk syarat kedua, apa tidak berarti kamu mengharamkan poligami?” Gugat Furqan.

”Mohon Mas Furqan melihat dan meneliti dengan seksama, dibagian mana dan di teks mana saya mengharamkan poligami yang dihalalkan oleh Al Quran. Tidak, sama sekali saya tidak mengharamkan. Kalau Mas Furqan menikah dengan selain saya, Mas mau menikahi langsung empat wanita juga saya tak ada masalah. Itu hak Mas Furqan. Syarat itu sama dengan syarat misalnya saya minta setelah menikah Mas Furqan tidak makan Jengkol, karena saya tidak suka. Jengkol itu bau. Baunya saya tidak suka. Apa itu berarti saya mengharamkan Jengkol? Saya meminta syarat untuk sesuatu yang menurut saya bermanfaat bagi saya dan anak-anak saya. Dan dengan syarat ini Mas Furqan sama sekali tidak dirugikan, sebab saya mengatakan tidak boleh menikah dengan perempuan lain selama saya hidup dan saya masih bisa menunaikan kewajiban saya sebagai isteri. Kalau saya sakit menahun dan tidak bisa menunaikan kewajiban saya ya silakan menikah. Syarat yang seperti ini dibolehkan oleh ulama.” Anna beragumentasi membela syarat yang diajukannya.

”Maaf saya belum pernah membaca ada ulama membolehkan syarat seperti itu.” Tukas Furqan.

”Baiklah. Tunggu sebentar!” Kata Anna. Gadis itu masuk ke kamarnya dan mengambil sebuah kitab. Pada halaman yang ditandainya ia membukanya dan langsung menyodorkannya pada Furqan, ”Ini juz 7 dari kitab Al Mughni karya Ibnu Qudamah, silakan baca di halaman 93!”
Furqan menerima kitab itu lalu membaca pada bagian yang diberi garis tipis dengan pensil oleh Anna. Saat membaca kening Furqan berkerut. Ia lalu mendesah. Ia diam sesaat. Wajahnya agak bingung.

”Jelas sekali, para ulama sepakat bahwa suatu syarat yang menjadi sebab akad nikah terjadi harus dipenuhi. Maka syarat saya tadi harus dipenuhi kalau ingin akad nikah dengan saya terjadi. Selama syarat itu tidak bertentangan dengan tujuan pernikahan dan tidak menghilangkan maksud asli pernikahan. Saya tidak mensyaratkan misalnya saya hanya boleh disentuh satu tahun sekali. Tidak! Syarat ini bertentangan dengan maksud pernikahan. Dan ulama juga banyak yang memilih pendapat bahwa perempuan boleh mengajukan syarat sebelum akad nikah bahwa suaminya tidak akan menikahi perempuan lain. Dan sang suami wajib memenuhi syarat itu selama dia menerima syarat itu ketika akad nikah. Imam Ibnu Qudamah ketika berbicara tentang syarat dalam nikah sebagaimana termaktub dalam kitab Al Mughni yang Mas Furqan pegang itu berkata: ’Yang wajib dipenuhi adalah syarat yang manfaat dan faidahnya kembali kepada isteri. Misalnya sang suami tidak akan mengeluarkannya dari rumahnya atau dari kampungnya, tidak bepergian dengan membawanya atau tidak akan menikah atasnya. Syarat seperti ini wajib ditepati oleh suami untuk isteri, jika suami tidak menepati maka isteri berhak minta dihapuskan nikahnya. Hal seperti ini diriwayatkan dari Umar bin Khattab ra, dan Saad bin Abi Waqqash, Mu’awiyah, dan Amru bin Ash ra. Hal ini juga difatwakan oleh Umar bin Abdul Aziz, Jabir bin Zaid, Thawus, Auzai dan Ishaq.’

Dan ayat yang meminta kita untuk memenuhi janji adalah Al Maidah ayat 1, Allah berfirman, ’Hai orang-orang yang beriman penuhilah janji-janji itu Dan dalam sebuah hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah saw. bersabda, ’Sesungguhnya syarat yang paling berhak untuk kalian penuhi adalah syarat yang membuat suatu farji jadi halal untuk kalian!’ Saya hanya ingin seperti Fatimah yang selama hidupnya berumah tangga dengan Ali bin Abi Thalib tidak dimadu oleh Ali. Dan saya ingin seperti Khadijah yang selama hidupnya berumah tangga dengan Rasulullah juga tidak dimadu. Sungguh saya sama sekali tidak mengharamkan poligami. Tapi inilah syarat yang saya ajukan. Jika diterima ya akad nikah bisa dirancang untuk dilaksanakan. Jika tidak, ya tidak apa-apa. Silakan Mas Furqan mencari perempuan lain yang mungkin tidak akan mengajukan syarat apa-apa!” Papar Anna panjang lebar Menghadapi argumentasi Anna, akhirnya Furqan dan keluarganya menyerah. Mereka akhirnya menerima dua syarat yang diajukan Anna Althafunnisa.

* * *

Sore itu juga berita telah resminya Anna Althafunnisa putri Pengasuh Pesantren Daarul Quran bertunangan dengan Furqan Andi Hasan dari Jakarta langsung menyebar seantero desa Wangen. Beberapa santri senior, beberapa santri muda dan beberapa pemuda desa yang menaruhkan harap, menelan ludah kekecewaan. Impian mereka bias bersanding dengan putri Kiai Lutfi yang terkenal cantik, cerdas dan shalihah itu hilang. Seorang pemuda desa Wangen yang tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya berkata, ”Aku kecewa pada Pak Kiai. Kenapa Pak Kiai memilih calon menantu dari Jakarta! Kenapa mesti Jakarta yang diutamakan? Kenapa tidak memilih menantu orang sini saja. Menantu yang sudah beliau kenal, dan sudah mengaji dan belajar pada beliau sejak masih balita!”

”Masalahnya bukan orang Jakarta atau orang sini. Bukan itu kukira. Aku yakin karena yang dipilih sekarang ini adalah yang terbaik menurut Pak Kiai dan putrinya yaitu Anna Althafunnisa. Kau boleh saja kecewa. Tapi jodoh sudah ada yang menentukannya.” Sahut pemuda yang lebih tua. Bu Maylaf belum mengganti gaun yang ia kenakan dalam acara pertunangan putranya. Selepas maghrib ia langsung mengajak Furqan jalan-jalan mengelilingi kota Solo. Mereka hanya berdua. Pak Andi Hasan dan yang lain memilih istirahat di hotel. Mobil Toyota Fortuner berplat B itu melaju tenang di jalan Slamet Riyadi. Jalan utama kota Solo itu lebar dan ramai. Di kanan kiri berdiri bangunan-bangunan metropolis; mall, hotel, bank, butik, rumah makan, pusat elektronik dan lain sebagainya. Meskipun bukan sebuah ibu kota provinsi, Solo bisa disebut kota yang kesepuluh terbesar di Indonesia setelah Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Semarang, Makassar, Denpasar, Palembang, dan Jogyakarta. Bu Maylaf minta Furqan menuju Keraton.

”Aku ingin tahu suasana Keraton dan Pasar Klewer di malam hari.” Gumam Bu Maylaf.
”Aku juga ingin, Bu.” Sahut Furqan.

”Fur, kau bahagia?” Tanya Bu Maylaf sambil memandang gurat wajah putranya yang tidak benar-benar cerah.

”Iya bahagialah Bu. Ibu ini ada-ada saja.”

”Tapi ibu amati begitu pulang dari pesantren tadi wajahmu muram.”

”Ah tidak. Ibu saja yang terlalu berperasaan.”

”Tidak Anakku, ibu serius. Ibu amati kamu masih saja murung. Sejak kamu pulang dari Cairo sampai sekarang kamu kok sepertinya punya masalah serius? Apa kamu sebenarnya tidak suka pada gadis itu? Merasa salah pilih? Karena kamu sudah terlanjut melamar dia sejak di Cairo dan terlanjur bilang sama ibu dan ayah, kamu jadi menanggung beban, begitu?”

”Tidak ibu. Aku tidak ada masalah apa-apa kok. Aku suka gadis itu dan sama sekali tidak salah pilih.”

”Terus kenapa kamu muram seperti tertekan sesuatu?”

”Tidak ada kok Bu. Sungguh!”

”Fur, firasat seorang ibu pada anaknya tidak pernah salah. Ibu tahu kamu sejak kamu lahir. Kalau kamu senang ibu hafal wajah kamu. Kalau kamu marah, kamu kesal, kamu kecewa, ibu hafal semua. Juga kalau kamu memendam masalah. Ayo ceritakanlah pada ibu, Nak!” Desak Bu Maylaf.

Mendengar kata-kata ibunya itu Furqan ingin menangis, ingin rasanya meledakkan tangisan di pangkuan ibunya sambil dielus-elus kepalanya seperti saat masih kecil dulu. Ia ingin menceritakan musibah yang menimpanya beberapa hari sebelum kepulangannya. Tentang dirinya yang tanpa ia ketahui dosanya digarap agen Mossad di Meridien Hotel. Tentang Miss Italiana yang menghancurkan dirinya dengan virus HIV. Tentang janjinya pada Kolonel Fuad untuk tidak menyebarkan virus HIV yang diidapnya pada orang lain. Dan kini ia telah bertunangan dengan Anna Althafunnisa. Gadis terbaik yang pernah ia kenal dan ia ketahui. Haruskah ia meneruskan sampai ke pelaminan?

Ia ingin mengungkapkan semua pada ibunya. Ia sangat mencintai Anna, tapi ia tidak ingin merusak Anna. Ia tidak tahu harus bagaimana? Jika ia berterus terang pada ibunya, pada keluarganya. Ia khawatir hal itu akan menyakiti hati mereka berdua dan merusak hidup mereka.

Sebab ia tahu betapa sayang mereka berdua padanya. Ia satusatunya anak lelaki mereka. Kakak dan adiknya perempuan. Ia tiga bersaudara. Ia anak tengah. Kakaknya telah menikah dan kini sedang hamil tua. Sementara adiknya hanya selesai D3 dan tidak mau melanjutkan kuliah lagi. Ialah yang meraih pendidikan tertinggi, maka ialah putra kebanggaan keluarga. Apa jadinya jika ayah dan ibunya mengetahui anak kebanggaan mereka mengidap virus HIV.

”Fur kenapa kamu diam!” Teguran ibunya menyadarkan dirinya dari lamunan. Ia berusaha menahan air matanya agar tidak keluar. Ia mencoba untuk menormalkan keadaan.

”Oh tidak Bu. Aku tidak memendam masalah. Aku hanya tegang saja akhir-akhir ini. Tegang karena akan punya isteri. Akan benar-benar hidup sendiri. Hidup berumah tangga. Itu yang mungkin ibu lihat aku agak muram. Hanya tegang mau hidup berumah tangga Bu.’
Furqan menjawab diplomatis. Jawaban yang bisa menutupi segala galau dan kacau yang terus menteror perasaan dan jiwanya.

”O, begitu. Kalau itu ya memang biasa. Sebagian orang yang akan berumah tangga mengalaminya. Ibu dulu juga begitu. Tapi percayalah dengan berjalannya waktu semua akan baik-baik saja. Membangun rumah tangga tidak semenakutkan yang kau bayangkan. Dengan kerjasama yang baik antara suami isteri nanti rumah tangga itu akan sangat menyenangkan dan membahagiakan. Semogalah tanggamu nanti kokoh dan barakah, Fur.”

”Amin.”

Malam itu mereka menikmati panorama malam di kawasan Keraton. Furqan minta ibunya menemaninya minum wedang ronde di pojok barat alun-alun utara, tak jauh dari masjid Agung.
”Wah wedang rondenya enak ya Fur.”

”Iya Bu.”

”Nanti kalau kau pengantin baru. Ajaklah Anna minum wedang ronde di sini. Akan terasa sangat romantis Fur. Setelah itu ajaklah jalan-jalan keliling kota. Lalu ajaklah bermalam di hotel berbintang lima. Pasti itu akan membuat Anna tambah berlipat cintanya padamu Fur.” Kata Bu Maylaf sambil tersenyum pada putra kesayangannya.

”Ah ibu, sudah membayangkan yang indah-indah.”

”Ya, bayangkanlah yang indah-indah itu. Karena memang yang indah-indah itu adalah hak para pengantin baru. Saya dengar dari Pak Kiai yang mengajar di masjid kita, bahwa Rasulullah meminta kepada pada perjaka agar menyertai isterinya yang selama tujuh hari saat pengantin baru. Jika isterinya itu seorang gadis. Tujuannya ya katanya agar bisa mereguk keindahan-keindahan bersama sedalamdalamnya, seromantis-romantisnya, agar cinta di antara keduanya benar-benar berakar mendarah daging. Dan dengan itu mawaddah dan rahmah lebih mudah tercipta.”

”Wah ibu kayak Ustadzah saja.” Lho, begini-begini kan ibu ini ibundanya Ustadz Furqan, lulusan S2 Mesir.”

Keduanya tersenyum. Sesaat wajah murung Furqan dan imajinasi keindahan berkelebat-kelebat dalam pikirannya. Keanggunan Anna dalam balutan serba biru kembali hadir di pelupuk matanya. Sementara itu, di sebelah barat Kota Surakarta. Tepatnya dalam rumah papan di sebuah kampung di pinggir Kartasura, tampak tiga orang perempuan sedang beraktivitas di ruang tamu yang sekaligus adalah ruang tengah, ruang makan dan ruang kerja. Seorang perempuan tampak sudah berumur. Kira-kira lima puluh tahunan. Sedangkan dua perempuan lainnya masih muda. Perempuan setengah baya itu sibuk bekerja di depan mesin jahit tuanya. Ia sedang menjahit korden seorang pelanggannya. Berkali-kali perempuan itu menjahit sambil terbatuk batuk. Perempuan setengah baya itu tak lain adalah ibunda Khairul Azzam. Namanya Ibu Malikatun Nafisah. Di dukuh Sraten ada yang memanggil Bu Lika. Ada yang memanggil Bu Nafis dan Bu Isah. Panggilannya yang paling lazim dan masyhur adalah Bu Nafis.

”Bue, jangan memaksakan diri tho. Kalau sudah capek ya istirahat. Besok pagi dilanjutkan lagi. Nanti sakit lagi.” Ucap perempuan muda berjilbab cokelat sambil menghentikan aktivitas membacanya. Perempuan berjilbab coklat itu lalu bangkit dari tempat duduknya dan beranjak menuju ibunya. Ia lalu memijit pundak ibunya yang masih sesekali batuk dengan penuh kasih sayang.

”Yang keras sedikit Na. Ke arah tengkuk Na. Pegel rasanya. Ini biar Bue teruskan sedikit lagi ya. Biar selesai sekalian. Masalahnya ibu sudah janji besok pagi bisa diambil. Kalau besok belum jadi terus yang pesan datang kan mengecewakan.” Lirih Sang Ibu sambil terus melanjutkan pekerjaannya.

”Kalau Husna bisa menjahit, pasti Husna bantu. Biar Bue istirahat saja. Bue kan sudah tua, tidak perlu memaksakan diri bekerja.” Sahut perempuan berjilbab cokelat itu sambil terus memijit Sang Ibu.

”Ah ini kegiatan ringan saja kok Na. Ya Bue kan perlu kegiatan tho. Mosok nganggur. Ukh... ukh... ukh!” Kata Sang Ibu sambil terbatukbatuk.

”Dik Lia, maaf bisa nggak bantu Bue. Biar Bue istirahat aja, ini Bue sudah batuk terus!” Seru perempuan berjilbab cokelat sambil menengok ke arah adiknya yang sedang bergelut dengan tumpukan buku di kanan-kirinya.

”Aduh Mbak Husna, tidak bisa. Ini kerjaan sekolah menumpuk. Malam ini harus beres. Bue sih, sudah dibilangin tidak usah terima orderan, masih terus saja terima. Bue tidak melihat kondisi diri sendiri. Kalau sakit kan yang repot kita Bu. Anak-anaknya Bue.” Jawab sang adik sewot.

”Kalau tidak bisa ya sudah tho Dik, nggak perlu ceramah.” Sahutsang kakak.

”Mbak Husna tidak tahu sih, Lia ini lagi pusing plus repot banget. Apa Mbak nggak lihat kerjaan Lia! Setumpuk nih! Lia harus lembur malam ini Mbak. Kalau luang pasti tanpa diminta juga sudah Lia bantu kerjaan Bue.” Timpal sang adik.

”Sudah-sudah! Bue yang salah. Bue terlalu memaksakan diri. Husna, jangan ganggu adikmu. Dia kalau luang seperti biasa, pasti sudah bantu Bue. Ya sudah, Bue istirahat dulu. Besok habis subuh baru akan Bue lanjutkan. Tinggal sedikit saja kok. Ukh... ukh!” Ucap sang ibu menengahi sambil bangkit. Perempuan berjilbab cokelat yang tak lain adalah Ayatul Husna, mengantarkan ibunya ke kamarnya. Sampai di kamar ia menunggu ibunya rebahan. Lalu menyelimutinya dengan penuh kasih sayang.

”Ibu mau Husna buatkan jahe tambah madu hangat. Biar badan ibu hangat dan segar?”

Sang ibu mengangguk. Husna beranjak ke dapur. Sang ibu merasakan keharuan luar biasa. Tanpa bisa ia cegah air matanya meleleh membasahi pipinya. Sedemikian sayang dan perhatian kedua putrinya itu pada dirinya. Lirih ia menyampaikan rasa syukur sedalam dalamnya kepada Allah atas karunia yang sangat mahal ini. Meski ia membesarkan anak-anaknya tanpa didampingi sang suami, namun Allah selalu menurunkan pertolongannya. Keempat anaknya ia rasakan sangat berbakti dan sangat mencintainya.

Anak pertamanya, Khairul Azzam, sejak kecil telah menunjukkan baktinya. Prestasi-prestasinya mengharumkan nama orang tua. Saat kuliah di Al Azhar, ia juga meraih nilai sangat baik di tahun pertamanya. Dan ketika sang ayah tiada, Azzam menunjukkan tanggung jawabnya sebagai anak sulung dan satu-satunya anak lelakinya. Azzam bekerja keras di Mesir sana. Ia tahu anaknya itu bekerja dan berwirausaha dengan membuat bakso dan tempe di sana. Tiap bulan mengirimkan uang demi menghidupi dan menyekolahkan adik-adiknya. Sebagai ibu, ia sangat bangga pada anak pertamanya itu. Di saat sang ayah tiada dan ia sakit-sakitan, nama keluarga tetap terjaga. Seluruh adik-adiknya tetap lanjut kuliah.

Ia jadi sangat merindukan Azzam. ”Segeralah pulang Nak. Bue sangat rindu padamu. Bue ingin tahu seperti apa wajahmu. Seperti apa baumu. Bue ingin memelukmu.” Lirihnya dalam hati didera kerinduan dan keharuan luar biasa.

Anak keduanya, Ayatul Husna, sangat halus tutur bahasanya. Dan sangat mencintainya. Husna seolah tidak pernah rela ada nyamuk sekalipun menyentuh kulit ibunya. Ia dulu pernah merasa Husna adalah anak yang nakal. Ia ingat anak keduanya itu sewaktu kecil paling sering bikin ulah. Paling sering berkelahi dengan anak tetangga. Paling sering merebut mainan temannya. Dan saat kelas tiga SMP justru ikutan karate sebagai kegiatan ekstrakurikuler. Ia ingat bagaimana dulu Husna pernah memukul kakaknya dengan gagang sapu sekeras-kerasnya. Gara-garanya Husna disiram kakaknya karena sampai pukul enam pagi belum juga bangun pagi.

”Anak perempuan kok kebluk(tidur hingga siang) Kau ini sudah akil baligh Na! Dosa kalau kau shalat subuh selalu kesiangan apalagi tidak shalat subuh!” Seru kakaknya dengan nada marah saat itu. Husna sangat marah diperlakukan seperti itu oleh kakaknya. Ia bangkit lalu mengambil sapu. Dan memukul kakaknya dengan sekeras-kerasnyamenggunakan gagang sapu. Sampai gagang sapu itu patah. Husna memukul tepat di pelipis. Tak ayal, pelipis Azzam berdarah. Azzam tidak membalas. Azzam diam dengan amarah yang meluapluap. Oleh ayahnya Azzam dilarikan ke dokter terdekat untuk diobati. Sang ayah lalu menghukum Husna dengan menghajarnya. Tapi Husna melawan, Husna malah memukul dan menendang sang ayah. Sangayah kalap, Husna nyaris dipatahkan tangannya oleh sang ayah, tapi Azzam mencegah,

”Jangan ayah! Mungkin tadi Azzam yang salah. Azzam terlalu keras pada Dik Husna.” Sang ayah mengurungkan niatnya. Akhirnya Husna dihukum dengan diikat di dapur satu hari penuh. Husna berontak tapi tidak bisa. Kenakalan dan kebengalan Husna saat itu dikenal hampir oleh semua orang di kampung. Namun kenakalan itu perlahan hilang sejak Husna masuk SMA dan Azzam terbang ke Mesir. Husna berubah seratus delapan puluh derajat sejak ayahnya meninggal dunia. Sejak itu Husna disiplin mengenakan jilbab. Sangat santun. Penyabar dan penyayang. Ia tahu bahwa di antara yang punya andil mengubah Husna adalah kakaknya, Azzam. Hampir setiap bulan sejak di Mesir Azzam selalu mengirimkan surat ke Indonesia. Husna dan Lia mendapat surat khusus. Sekarang Husna, sudah selesai S1. Bahkan sudah selesai sekolah profesinya sebagai psikolog. Ia sekarang dipercaya untuk menjadi nara sumber tetap rubrik psikologi remaja di Radio Jaya Pemuda Muslim Indonesia (JPMI) Solo. Juga mengajar di UNS sebagai asisten dosen.

Husna sekarang bukanlah Husna yang badung seperti dahulu. Husna sekarang adalah bidadari yang sangat penyabar dan penyayang. Sangat berhati-hati dalam berbicara dan berperilaku. Tidak mau sedikitpun menyakiti orang. Anaknya yang nomor tiga adalah Lia. Lengkapnya Lia Humaira. Sudah selesai D3 PGSD dan sekarang mengajar di SDIT Al Kautsar di Kadipiro Solo. Sambil mengajar Lia melanjutkan pendidikannya untuk meraih SI di STAIN Surakarta.

Lia lebih cantik dari kakaknya. Sudah ada beberapa orang yang melamarnya, tapi Lia menolak. Ia ingin kakaknya duluan menikah. Memang Lia lebih putih kulitnya dibandingkan kakaknya, Husna. Sebenarnya tidak putih, tapi kuning langsat. Karena itulah banyak orang mengatakan Lia lebih cantik dari kakaknya. Namun sebenamya Husna tidak kalah cantik. Kulit Husna sawo matang seperti kulit ayahnya. Azzam dan Husnalah yang warna kulitnya mengikuti ayahnya. Sedangkan Lia dan si bungsu berkulit kuning langsat seperti ia, ibunya. Lia tidak kurang baktinya. Sebisa mungkin ia berusaha menyenangkan hati ibu. Lialah yang paling sering pergi ke Kudus untuk menengok si bungsu yang sedang belajar di sebuah pesantren Al Quran di Kudus. Perempuan setengah baya itu kembali batuk. Ia teringat si bungsu. Sedang apa si kecil Sarah malam ini. Apakah ia sedang mengaji? Ataukah masih belajar. Atau sedang lelap dalam tidurnya? Jika teringat si kecil Sarah ia sering tidak bisa menahan rasa haru. Anak itu baru berusia sembilan tahun sekarang. Sudah satu tahun ini dia di pesantren. Di pesantren Al Quran untuk anak anak. Ia laksanakan sesuai dengan wasiat sang ayah beberapa bulan sebelum meninggal. Sang ayah berwasiat anak bungsunya dimasukkan ke pesantren Al Quran supaya hafal Al Quran. Beberapa waktu yang lalu ia, Husna dan Lia mengantarkan si kecil kembali ke pesantren setelah beberapa hari liburan. Saat itu sudah hafal juz 27, 28, 29 dan 30. Si kecil begitu bahagia diantar oleh ibu dan kakak-kakaknya. Dan saat diajak rekreasi ke pantai Kartini sebelum ke pesantren si kecil sempat berkata,

”Kalau ada Mas Azzam pasti lebih lengkap bahagianya ya Bue.” Ia hanya menganggukkan kepala. Ia jadi kembali teringat Azzam. Ia tidak bisa mengingkari bahwa Husna bisa selesai S1, Lia bisa selesai D3 dan si kecil Sarah bias masuk pesantren adalah karena kerja keras Azzam, putra sulungnya yang sampai saat ini belum juga lulus kuliah di Al Azhar. Perempuan itu meneteskan air mata kembali. Sebuah doa ia panjatkan,

”Ya Allah mudahkanlah semua uruasan putraku Azzam. Aku titipkan keselamatannya pada-Mu ya Allah. Engkau Dzat Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Ya Allah berkahilah umur dan langkahnya ya Allah. Amin.”

Ia mengatupkan pelupuk matanya dan menangis. Ibu mana Yang tidak menangis bila teringat anaknya yang sudah sembilan tahun tidak dilihatnya. Anaknya yang selama bertahun-tahun memeras keringat, darah dan air mata untuk kesejahteraan adik-adiknya. Ibu mana tidak menangis dan lunak hatinya.

’Bue menangis ya?” Suara Husna menyadarkannya. Ia mengusap air matanya lalu membuka pelupuk matanya. ”Ah tidak kok Na.”

”Maafkan jika ada kata-kata Husna dan Lia yang tidak berkenan bagi Bue ya.”

”Tidak kok Na. Tidak ada yang salah dari kalian. Ibu teringat kakakmu di Mesir dan adikmu di Kudus.”

”O begitu. Husna kalau teringat Kak Azzam juga sering menangis kok Bu. Ia kakak yang sedemikian baik pada adik-adiknya. Insya Allah sebentar lagi Kak Azzam pulang Bu.”

”Kapan Na?”

”Semoga bulan Agustus nanti. Makanya Bue jaga kesehatannya ya. Biar nanti pas Kak Azzam pulang kita bisa jalan-jalan bersama. Kak Azzam pasti akan sangat bahagia melihat ibu sehat dan ceria.”

”Ya baik Na. Aku tidak sabar menunggu hari itu. Hari anak lelakiku pulang. Aku juga ingin melihat dia nikah dan punya anak. Aku ingin menggendong cucu.”

”Ah bue ini terus ke mana-mana. Ya semoga dikabulkan Allah. Amin.”

”Bue mau tidur. Sudah sana teruskanlah pekerjaanmu Na.”

”Baik Bu.” Husna kembali ke ruang tamu. Ia kembali membaca. Ia harus menuntaskan buku yang dibacanya. Ia sedang mencari pengkayaan bahan yang akan ia gunakan untuk mengajar mata kuliah psikologi dasar di Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta. Ruang tamu itu senyap. Husna tenggelam dengan bacaannya dan Lia berkutat dengan tugas-tugasnya. Di luar puluhan jangkrik mendendangkan lagu malam. Bersahut sahutan di tengah kegelapan. Rumah sederhana itu terletak di sebuah dusun kecil bernama Sraten. Sebuah dusun yang berada di desa Pucangan, Kartasura. Letaknya di sebelah barat jalan raya Toeja. Tak jauh dari markas Kopasus, Kandang Menjangan, Kartasura. Sebuah dusun yang damai. Sawah-sawahnya mulai hijau. Posisi dusun itu sebenarnya sangat strategis. Terletak tak jauh dari pusat peradaban dan budaya. Tak jauh dari pusat belanja dan pendidikan. Transportasinya mudah. Dari jalan raya besar letaknya hanya ratusan meter saja. Ke jalan raya bisa jalan kaki. Dari pasar Kartasura bias dikatakan dekat. Kira-kira dua kilo saja. Dari kampus STAIN Surakarta juga dekat. Ke bandara juga dekat. Ke kampus UMS tidak terlalu jauh. Ke pusat kota Solo sangat mudah. Dusun Sraten sebuah dusun di pinggir kota yang sebenarnya sudah mulai hidup dengan cara kota. Tidak lagi menggunakan cara dusun yang sebenarnya. Dusun yang sudah tidak orisinil dan perawan kedusunannya. Gadis-gadis dan para pemudanya tidak lagi lugu dan polos. Sudah banyak yang bertingkah mengada-ada dan sok kota. Sebagian mereka bahkan tidak mau dicap sebagai orang desa. Mereka ingin dianggap sebagai orang kota. Memang beberapa perumahan yang menjadi ciri perubahan masyarakat dari desa ke kota sudah mulai hadir di samping mereka. Di sebelah barat mereka telah berdiri Perumahan Pucangan I. Di desa Pucangan sendiri sudah banyak perumahan bermunculan. Perumahan-perumahan itulah yang menghadirkan cara hidup ala kota. Dimulai dari bentuk rumah dan cara interaksi penduduknya yang tidak lagi cara desa. Dua gadis itu masih larut dengan pekerjaannya di ruang tengah ketika tiba-tiba pengeras suara dari masjid Mannar mengumumkan kabar yang mengagetkan seluruh Penduduk Sraten, Innalillahi wainna ilaihi raaji’un. Ngaturi kawuningan bapaksaha ibu sekalian.(memberitahukan kepada bapak dan ibu sekalian) Telah menghadap Allah Swt. pada malam ini tepat jam Sembilan malam lebih sepuluh menit Bapak Haji Masykur ketua RW sekaligyo bendahara takmir masjid Al Mannar. Jenazah insya Allah akan dikebumikan besok pagi jam sepuluh pagi ...” Husna dan Lia kaget.

”Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un.” Hampir bersamaan mereka berdua membaca istirja’ (kalimat inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un). Dua perempuan kakak beradik itu beradu pandang dengan wajah kaget.

”Kita takziah ke sana sekarang Mbak?”

” Terus Bue bagaimana?”

”Kita bangunkan saja. Kita ajak ke sana sekalian.”

”Beliau kelelahan, Dik. Kasihan. Biar istirahat saja.”

”Kalau begitu kita berdua ke sana.”

”Sebaiknya ada yang di rumah nungguin Bue. Kalau tiba-tiba Bue bangun dan mencari kita bagaimana? Nanti bikin beliau bingung dan cemas. Biar aku saja ya yang ke sana malam ini. Kau selesaikan saja kerjaanmu itu. Besok baru kau ke sana bersama Bue.”

”Iya. Begitu juga baik Mbak. Apalagi kerjaanku ini belum rampung juga.”

”Kalau begitu Mbak pergi dulu ya Dik.”

”Jangan lama-lama ya Mbak.”

”Ya.”

Husna membuka pintu dan melangkah ke arah masjid. Lia menutup dan mengunci kembali pintu. Masjid itu hanya seratus meter dari rumah Husna. Dan rumah Pak Masykur tepat ada di belakang masjid. Di jalan Husna bertemu Bu RT dan Pak RT yang juga bergegas ke rumah duka.
”Bu RT, kayaknya Pak Masykur sehat-sehat saja tho ya Bu? Tadi pagi saya ketemu beliau di warung Bu War, beliau pakai sepeda dan sempat berbincang sebentar dengan saya.” Tanya Husna pada Bu RT.

”Iya. Tadi siang juga masih sehat. Masih jamaah di masjid dan sempat mampir ke rumah menanyakan ”Persiapan kegiatan tujuhbelasan.” Jawab Bu RT.

”Saya tadi menjelang Isya’ dapat sms dari Pak Mahbub, Ketua Takmir Masjid, kata beliau Pak Masykur kena serangan jantung dan dilarikan ke Solo.” Pak RT ikut nimbrung.

”Ya itulah kematian, Dik Husna. Kematian itu misteri. Kita tak tahu kapan datangnya. Tak bisa diajukan. Dan jika sudah datang tak bias diundurkan.” Tukas Bu RT.

”Dan kematian bisa datang pada siapa saja. Tidak pilih pilih. Lha Mbah Hadi sekarang umurnya sudah sembilan puluh delapan. Tapi masih segar dan masih bisa ke masjid sendirian meskipun pakai tongkat. Sementara bulan lalu Si Jasman yang baru lulus SMA mati karena demam berdarah.” Pak RT menyambung lagi. Husna diam mendengarkan. Kematian selalu menjadi ibrah baginya. Karena sebuah kematianlah ia berubah. Kematian ayahnya delapan tahun yang lalu menjadi pelajaran yang tak mungkin terlupakan baginya. Pelajaran yang menjadikannya mengenal dirinya sebagai manusia, ciptaan Allah Azza wa Jalla.

”Itu Pak Mahbub sudah ada di sana.” Gumam Pak RT. Husna melihat sudah banyak orang di rumah duka. Suasana terasa menyedihkan. Ia mendengar raungan tangis Bu Masykur dan anakanaknya. Pak jangan tinggalkan aku Paak...! Kasihan anakanak… bagaimana nanti aku membesarkan mereka tanpa sampeyan Paak...!”janda Pak Masykur terus meraung. Bu Mahbub yang tak lain kakak kandung Bu Masykur mencoba menenangkan menghibur. Tapi usaha Bu Mahbub seperti takada gunanya. Bu Masykur terus meraung. Husna tertegun. Ia berhenti melangkah. Sementara Pak RT dan Bu RT terus masuk ke rumah duka. Husna jadi teringat saat ayahnya meninggal karen kecelakaan. Ibunya sempat menangis meskipun tidak setragis Bu Masykur. Ia sendiri menangis. Saat itu ia menangis karena sedih dan menangis karena penyesalan. Sebuah penyesalan yang sampai saat ini masih bercokol di hatinya. Sebab ia merasa dirinyalah penyebab kematian ayahnya. Saat itu ia ngambek kabur dari rumah karena minta dibelikan sepeda motor tapi tidak dibelikan. Ayahnya berkata,

”Nak, ayah tidak bias beli sepeda motor baru. Kalau kamu mau sekolah memakai sepeda motor pakailah motor ayah. Biar ayah kerja pakai sepeda saja.” Ia masih ingat betul apa yang ia katakan pada ayahnya saat itu,”

Aduh Yah, gengsi dong. Masak Husna pakai sepeda motor butut tahun tujuh puluhan begitu. Apa kata teman teman Husna nanti. Baiklah, kalau ayah tidak mau membelikan maka Husna akan minggat”

Ayahnya tetap tidak membelikan. Karena memang tidak punya uang. Ia lalu minggat. Pergi dari rumah. Tiga hari ia tidak pulang ke rumah. Ia tidur numpang dari rumah teman ke rumah teman yang lain. Rupanya ayah dan ibunya bingung dan terus mencarinya. Hari ke empat ia tidur di rumah temannya yang paling jauh. Rumahnya di desa Begajah yang terletak di sebelah selatan kota Sukoharjo. Ayahnya mendapat informasi dari seorang temannya bahwa ia ada di Begajah. Sore itu di tengah hujan deras, dengan mengendarai sepeda motor butut, ayahnya menyusulnya ke Begajah. Di tengah jalan, satu kilometer sebelum masuk kota Sukoharjo sebuah mobil sedan berkecepatan tinggi menabrak ayahnya dari depan. Rupanya sopir mobil sedan itu sedang stres dan mabuk, terpelanting sejauh lima belas meter dan ayahnya tewas seketika.

Saat diberi tahu ayahnya meninggal mulanya ia tidak percaya. Dan setelah melihat sendiri jenazah ayahnya ia menjerit dan menangis sejadi-jadinya. Ia merasa menjadi anak paling durhaka di dunia. Ia merasa ialah sebenarnya yang menabrak ayahnya hingga terpelanting lima belas meter dan tewas seketika. Ia sangat menyesal. Tapi penyesalannya tidak akan pernah mengembalikan nyawa ayahnya. Satu hal yang paling membuatnya semakin menyesal adalah ketika ia tahu bahwa sang ayah siangnya baru saja pinjam uang di bank untuk membayar uang muka membeli sepeda motor baru. Ayahnya ingin menjemputnya dan keesokan harinya akan diajak ke dealer agar ia sendiri yang memilih kendaraan yang ia inginkan. Selanjutnya ayah akan membayar setiap bulan dengan cara kredit. Ia sangat menyesal. Betapa sebenarnya ayahnya sangat mencintai dan menyayanginya. Dan ia merasakan itu ketika ayahnya sudah meninggal dunia. Sejak itu ia berubah. Air mata Husna meleleh. Ia teringat dosa-dosanya.

”Ya Allah ampunilah dosa hamba-Mu ini.”

Ia mengatupkan kedua pelupuk matanya.

”Dik Husna, ayo masuk, jangan berdiri di kegelapan sendirian begitu. Cobalah ikut menghibur Bu Masykur dan anak-anaknya.”

Panggilan Bu RT membuatnya tergagap sesaat. Ia mengusap lelehan air matanya. Husna beranjak masuk. Bu Mahbub masih terus menghibur adik kandungnya. Husna mendekati anak anak Bu Masykur yang semuanya putri. Jumlah anak Pak Masykur empat Yaitu Zumrah, Zaimah, Zuhriah, dan Zahrah, Husna hanya mendapati tiga dari mereka. Husna tidak menemukan Zumrah. Zaimah, Zuhriah dan Zahrah semuanya menangis tersedu-sedu. Zaimah pingsan berkali-kali. Sementara sibungsu Zahrah terus memanggil-manggil nama ayahnya. Semuanya sudah dihibur para tetangga dan sanak saudara.

”Bu RT, saya kok tidak melihat Si Zumrah. Apa dia belum diberi tahu kalau ayahnya meninggal?” Lirih Husna bertanya pada Bu RT. Bu RT mendekatkan mulutnya ke telinga Husna,

”Ssst! Kamu jangan membicarakan Zumrah. Sensitif. Tadi saya Tanya begitu sama Bu War. Ternyata Zumrah-lah penyebab ayahnya kena serangan jantung. Menurut Bu War tadi sore Zumrah pulang kuliah. Habis maghrib katanya Zumrah cerita pada ayahnya sudah hamil. Dan yang menghamili katanya pacarnya yang bukan seagama. Dan katanya Zumrah sudah pindah agama. Zumrah langsung diusir Pak Masykur. Seketika itulah Pak Masykur jatuh kena serangan jantung.”

”Astaghfirullah!” Desis Husna. ”Dan katanya Zumrah sedang diburu sama Si Mahrus pamannya yang anggota Serse. Si Mahrus marah besar. Katanya Zumrah mau didor!” Lanjut Bu RT sambil tetap mendekatkan mulutnya pada telinga Husna.

”La haula wa laa quwwata ilia billah! Harus dicegah itu, jangan sampai hal itu terjadi Bu.” Kata Husna setengah berbisik.

”Karena itulah sekarang ini para pemuka sedang musyawarah di rumah Pak Joyo. Pak RT sebentar lagi juga mau ke sana!” Balas Bu RT. Husna menghela nafas panjang. Gadis berjilbab cokelat itu memejamkan mata. Ia merasakan betapa besar musibah yang dirasakan Bu Masykur. Lebih-lebih jika anak sulungnya itu benarbenar pindah agama, menjadi penyebab kematian ayahnya, dan berakhir tragis di tangan pamannya sendiri yang terkenal tegas dan tak kenal takut pada siapa pun.

Dalam hati Husna berharap bahwa semua yang ia dengar tidak benar adanya. Ia tidak percaya bahwa Zumrah yang sampai lulus SD menjadi teman mengajinya di masjid sampai berbuat seperti itu. Zumrah yang oleh ayahnya diharapkan akan menjadi isteri Azzam kakaknya jika sudah pulang nanti. Ia belum bisa mempercayai apa yang baru saja ia dengar. Ia berharap apa yang ia dengar sama sekali tidak benar.




to be continue...........

No comments:

Post a Comment

LOVELY LOVER