KETIKA CINTA BERTASBIH 2
KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY
Episod 29 DAN CINTA PUN BERTASBIH
Anna tidak sabar untuk segera bertemu Azzam. Selesai shalat Isya ia berharap Azzam akan dibawa Abahnya langsung ke rumah. Tapi Abahnya malah meminta Azzam untuk memberikan pengajian Tafsir Jalalain. Dengan agak berat Azzam maju ke mimbar pesantren. Ia meminjam kitab Tafsir seorang santri. Di atas mimbar setelah membaca hamdalah, Azzam berkata,
”Para santri Pesantren Wangen yang saya cintai. Jujur saya tidak siap untuk membacakan Tafsir Jalalain. Saya tidak punya persiapan apaapa. Saya tidak mau ngawur dalam memahami tafsir ayat-ayat suci Al-Quran. Sebagai gantinya saya akan sedikit bercerita saja. Semoga ada gunanya.
Saya awali dari sebuah kisah yang sangat menggugah saya. Suatu siang, saat saya masih kuliah di Universitas Al Azhar Kairo, sekitar tahun 1999 saya membeli majalah Al ij’uu Al Islami yang diterbitkan oleh Kementerian Wakaf Kuwait. Sampai di flat, karena lelah, yang saya baca dulu adalah suplemen majalah itu. Yaitu majalah tipis untuk anak, namanya Bara’imul Iman.
Dalam keadaan lelah saya memang biasa membaca bacaan yang ringan dan menghibur. Pokoknya harus tetap membaca. Termasuk majalah anak-anak. Bahkan, saat itu saya juga sering membaca komik Donal Bebek versi bahasa Arabnya. Selain ringan, lucu, menghibur, seringkali saya juga menemukan kosa kata baru dan lucu dalam bahasa Arab. Jadi dalam lelah pun masih tetap bias mendapatkan manfaat berlipat. Di majalah Bara’imul Iman yang saya pegang itu saya menemukan sebuah kisah yang sangat bergizi dan memotivasi. Sebuah kisah fable yang sangat menggugah dan inspiratif judulnya Kisah Seekor Anak Singa. Alkisah, di sebuah hutan belantara ada seekor induk singa yang mati setelah melahirkan anaknya. Bayi singa yang lemah itu hidup tanpa perlindungan induknya. Beberapa waktu kemudian serombongan kambing datang melintasi tempat itu. Bayi singa itu menggerakgerakkan tubuhnya yang lemah. Seekor induk kambing tergerak hatinya. Ia merasa iba melihat anak singa yang lemah dan hidup sebatang kara. Dan terbitlah nalurinya untuk merawat dan melindungi bayi singa itu. Sang induk kambing lalu menghampiri bayi singa itu dan membelai dengan penuh kehangatan dan kasih sayang. Merasakan hangatnya kasih sayang seperti itu, sibayi singa tidak mau berpisah dengan sang induk kambing. Ia terus mengikuti ke mana saja induk kambing pergi. Jadilah ia bagian dari keluarga besar rombongan kambing itu. Hari berganti hari, dan anak singa tumbuh dan besar dalam asuhan induk kambing dan hidup dalam komunitas kambing. Ia menyusu, makan, minum, bermain bersama anak-anak kambing lainnya.
Tingkah lakunya juga layaknya kambing. Bahkan anak singa yang mulai berani dan besar itu pun mengeluarkan suara layaknya kambing yaitu mengembik bukan mengaum! la merasa dirinya adalah kambing, tidak berbeda dengan kambingkambing lainnya. Ia sama sekali tidak pernah merasa bahwa dirinya adalah seekor singa. Suatu hari, terjadi kegaduhan luar biasa. Seekor serigala buas masuk memburu kambing untuk dimangsa. Kambing-kambing berlarian panik. Semua ketakutan. Induk kambing yang juga ketakutan meminta anak singa itu untuk menghadapi serigala.
”Kamu singa, cepat hadapi serigala itu! Cukup keluarkan aumanmu yang keras dan serigala itu pasti lari ketakutan!” Kata induk kambing pada anak singa yang sudah tampak besar dan kekar. Tapi anak singa yang sejak kecil hidup di tengah-tengah komunitas kambing itu justru ikut ketakutan dan malah berlindung di balik tubuh induk kambing. Ia berteriak sekeras-kerasnya dan yang keluar dari mulutnya adalah suara embikan. Sama seperti kambing yang lain bukan auman. Anak singa itu tidak bisa berbuat apa-apa ketika salah satu anak kambing yang tak lain adalah saudara sesusuannya diterkam dan dibawa lari serigala. Induk kambing sedih karena salah satu anaknya tewas dimakan serigala. Ia menatap anak singa dengan perasaan nanar dan marah,
”Seharusnya kamu bisa membela kami! Seharusnya kamu bias menyelamatkan saudaramu! Seharusnya bisa mengusir serigala yang jahat itu!”
Anak singa itu hanya bisa menunduk. Ia tidak paham dengan maksud perkataan induk kambing. Ia sendiri merasa takut pada serigala sebagaimana kambing-kambing lain. Anak singa itu merasa sangat sedih karena ia tidak bisa berbuat apa-apa. Hari berikutnya serigala ganas itu datang lagi. Kembali memburu kambing-kambing untuk disantap. Kali ini induk kambing tertangkap dan telah dicengkeram oleh serigala. Semua kambing tidak ada yang berani menolong. Anak singa itu tidak kuasa melihat induk kambing yang telah ia anggap sebagai ibunya dicengkeram serigala. Dengan nekat ia lari dan menyeruduk serigala itu. Serigala kaget bukan kepalang melihat ada seekor singa di hadapannya. Ia melepaskan cengkeramannya. Serigala itu gemetar ketakutan! Nyalinya habis! Ia pasrah, ia merasa hari itu adalah akhir hidupnya!
Dengan kemarahan yang luar biasa anak singa itu berteriak keras, ”Emmbiiik!”
Lalu ia mundur ke belakang. Mengambil ancang ancang untuk menyeruduk lagi.
Melihat tingkah anak singa itu, serigala yang ganas dan licik itu langsung tahu bahwa yang ada di hadapannya adalah singa yang bermental kambing. Tak ada bedanya dengan kambing. Seketika itu juga ketakutannya hilang. Ia menggeram marah dan siap memangsa kambing bertubuh singa itu! Atau singa bermental kambing itu! Saat anak singa itu menerjang dengan menyerudukkan kepalanya layaknya kambing, sang serigala telah siap dengan kuda-kudanya yang kuat. Dengan sedikit berkelit, serigala itu merobek wajah anak singa itu dengan cakarnya. Anak singa itu terjerembab dan mengaduh, seperti kambing mengaduh. Sementara induk kambing menyaksikan peristiwa itu dengan rasa cemas yang luar biasa. Induk kambing itu heran, kenapa singa yang kekar itu kalah dengan serigala. Bukankah singa adalah raja hutan? Tanpa memberi ampun sedikitpun serigala itu menyerang anak singa yang masih mengaduh itu. Serigala itu siap menghabisi nyawa anak singa itu. Di saat yang kritis itu, induk kambing yang tidak tega, dengan sekuat tenaga menerjang sang serigala. Sang serigala terpelanting. Anak singa bangun. Dan pada saat itu, seekor singa dewasa muncul dengan auman yang dahsyat! Semua kambing ketakutan dan merapat! Anak singa itu juga ikut takut dan ikut merapat. Sementara sang serigala langsung lari terbirit-birit. Saat singa dewasa hendak menerkam kawanan kambing itu, ia terkejut di tengah-tengah kawanan kambing itu ada seekor anak singa. Beberapa ekor kambing lari, yang lain langsung lari. Anak singa itu langsung ikut lari. Singa itu masih tertegun. Ia heran kenapa anak singa itu ikut lari mengikuti kambing? Ia mengejar anak singa itu dan berkata,
”Hai kamu jangan lari! Kamu anak singa, bukan kambing! Aku tak akan memangsa anak singa!”
Namun anak singa itu terus lari dan lari. Singa dewasa itu terus mengejar. Ia tidak jadi mengejar kawanan kambing, tapi malah mengejar anak singa. Akhirnya anak singa itu tertangkap. Anak singa itu ketakutan,
”Jangan bunuh aku, ammpuun!”
”Kau anak singa, bukan anak kambing. Aku tidak membunuh anak singa!”
Dengan meronta-ronta anak singa itu berkata, ”Tidak aku anak kambing! Tolong lepaskan aku!” Anak singa itu meronta dan berteriak keras. Suaranya bukan auman tapi suara embikan, persis seperti suara kambing. Sang singa dewasa heran bukan main. Bagaimana mungkin ada anak singa bersuara kambing dan bermental kambing. Dengan geram ia menyeret anak singa itu ke danau. Ia harus menunjukkan siapa sebenarnya anak singa itu. Begitu sampai di danau yang jernih airnya, ia meminta anak singa itu melihat bayangan dirinya sendiri. Lalu membandingkan dengan singa dewasa. Begitu melihat bayangan dirinya, anak singa itu terkejut, ”Oh, rupa dan bentukku sama dengan kamu. Sama dengan singa, si raja hutan!”
”Ya, karena kamu sebenarnya anak singa. Bukan anak kambing!” Tegas singa dewasa.
”Jadi aku bukan kambing? Aku adalah seekor singa!”
”Ya kamu adalah seekor singa, raja hutan yang berwibawa dan ditakuti oleh seluruh isi hutan! Ayo aku ajari bagaimana menjadi seekor raja hutan!” Kata sang singa dewasa. Singa dewasa lalu mengangkat kepalanya dengan penuh wibawa dan mengaum dengan keras. Anak singa itu lalu menirukan, dan mengaum dengan keras. Ya mengaum, menggetarkan seantero hutan.
Tak jauh dari situ serigala ganas itu lari semakin kencang, ia ketakutan mendengar auman anak singa itu. Anak singa itu kembali berteriak penuh kemenangan, ”Aku adalah seekor singa! Raja hutan yang gagah perkasa!”
Singa dewasa tersenyum bahagia mendengarnya. Saya tersentak oleh kisah anak singa di atas! Jangan jangan kondisi kita, dan sebagian besar orang di sekeliling kita mirip dengan anak singa di atas. Sekian lama hidup tanpa mengetahui jati diri dan potensi terbaik yang dimilikinya. Betapa banyak manusia yang menjalani hidup apa adanya, biasabiasa saja, ala kadarnya. Hidup dalam keadaan terbelenggu oleh siapa dirinya sebenarnya. Hidup dalam tawanan rasa malas, langkah yang penuh keraguan dan kegamangan. Hidup tanpa semangat hidup yang seharusnya. Hidup tanpa kekuatan nyawa terbaik yang dimilikinya.
Saya amati orang-orang di sekitar saya. Di antara mereka ada yang telah menemukan jati dirinya. Hidup dinamis dan prestatif. Sangat faham untuk apa ia hidup dan bagaimana ia harus hidup. Hari demi hari ia lalui dengan penuh semangat dan optimis. Detik demi detik yang dilaluinya adalah kumpulan prestasi dan rasa bahagia. Semakin besar rintangan menghadap semakin besar pula semangatnya untuk menaklukkannya. Namun tidak sedikit yang hidup apa adanya. Mereka hidup apa adanya karena tidak memiliki arah yang jelas. Tidak faham untuk apa dia hidup, dan bagaimana ia harus hidup. Saya sering mendengar orang-orang yang ketika ditanya, ”Bagaimana Anda menjalani hidup Anda?” atau ”Apa prinsip hidup Anda?”, mereka menjawab dengan jawaban yang filosofis,
”Saya menjalani hidup ini mengalir bagaikan air. Santai saja.”
Tapi sayangnya mereka tidak benar-benar tahu filosofi ’mengalir bagaikan air’. Mereka memahami hidup mengalir bagaikan air itu ya hidup santai. Sebenarnya jawaban itu mencerminkan bahwa mereka tidak tahu bagaimana mengisi hidup ini. Bagaimana cara hidup yang berkualitas. Sebab mereka tidak tahu siapa sebenarnya diri mereka?
Potensi terbaik apa yang telah dikaruniakan oleh Tuhan kepada mereka. Bisa jadi mereka sebenarnya adalah ’seekor singa’ tapi tidak tahu kalau dirinya ’seekor singa. Mereka menganggap dirinya adalah ’seekor kambing sebab selama ini hidup dalam kawanan kambing.
Filosofi menjalani hidup mengalir bagaikan air yang dimaknai dengan hidup santai saja, atau hidup apa adanya bisa dibilang prototipe, gaya hidup sebagian besar penduduk negeri ini. Bahkan bisa jadi itu adalah gaya hidup sebagian besar masyarakat dunia Islam saat ini. Ketika saya pulang kampung, setelah sembilan tahun meninggalkan kampung halaman untuk belajar di Cairo, saya menemukan tidak ada perubahan berarti di kampung halaman saya. Cara berpikir masyarakatnya masih sama. Cara hidupnya masih sama saja. Pak Anu yang ketika saya masih di SD dulu kerjanya menggali sumur, sampai saya pulang dari Mesir, bahkan sampai saat saya berdiri di mimbar ini juga berprofesi menggali sumur. Bu Anu yang dulu kerjanya menjual air memakai gerobak sampai sekarang juga tidak berubah. Mbak Anu yang dulu jualan krupuk sambal di dekat SD sampai sekarang juga masih di sana dan berjualan dagangan yang sama. Bahkan teman-teman yang dulu ketika di bangku sekolah dasar terlihat begitu rajin dan cerdas, yang dulu pernah bercita-cita mau jadi ini dan itu dan saya berharap ia telah meraih cita-citanya sekian tahun berpisah ternyata jauh panggang dari api. Orang-orang yang dulu hidup memprihatinkan ternyata sampai sekarang tidak berubah.
Kenapa tidak berubah?
Jawabnya karena mereka tidak mau berubah. Kenapa tidak mau berubah?
Jawabnya karena mereka tidak tahu bahwa mereka harus berubah.
Bahkan kalau mereka tahu mereka harus berubah, mereka tidak tahu bagaimana caranya berubah. Sebab mereka terbiasa hidup pasrah. Hidup tanpa rasa berdaya dalam keluh kesah. Dan cara hidup seperti itu yang terus diwariskan turun-temurun. Ada seorang sastrawan terkemuka, yang demi melihat kondisi bangsa yang sedemikian akut rasa tidak berdayanya sampai dia mengatakan,
”Aku malu jadi orang Indonesia!”
Di mana-mana, kita lebih banyak menemukan orang orang bermental lemah, hidup apa adanya dan tidak terarah. Orang-orang yang tidak tahu potensi terbaik yang diberikan oleh Allah kepadanya. Orangorang yang rela ditindas dan dijajah oleh kesengsaraan dan kehinaan. Padahal sebenarnya jika mau, pasti bisa hidup merdeka, jaya, berwibawa dan sejahtera.
Tak terhitung berapa jumlah masyarakat negeri ini yang bermental kambing. Meskipun sebenarnya mereka adalah singa! Banyak yang minder dengan bangsa lain. Seperti mindernya anak singa bermental kambing pada serigala dalam kisah di atas. Padahal sebenarnya, Bangsa ini adalah bangsa besar! Ummat ini adalah ummat yang besar!
Bangsa ini sebenarnya adalah singa dewasa yang sebenarnya memiliki kekuatan dahsyat. Bukan bangsa sekawanan kambing. Sekali rasa berdaya itu muncul dalam jiwa anak bangsa ini, maka ia
akan menunjukkan pada dunia bahwa ia adalah singa yang tidak boleh diremehkan sedikitpun. Bangsa ini sebenarnya adalah Sriwijaya yang perkasa menguasai nusantara. Juga sebenarnya adalah Majapahit yang digjaya dan adikuasa. Lebih dari itu bangsa ini, sebenarnya, dan ini tidak mungkin disangkal, adalah ummat Islam terbesar di dunia. Ada dua ratus juta ummat Islam di negeri tercinta Indonesia ini. Banyak yang tidak menyadari apa makna dari dua ratus juta jumlah ummat Islam Indonesia. Banyak yang tidak sadar. Dianggap biasa saja. Sama sekali tidak menyadari jati diri sesungguhnya. Dua ratus juta ummat Islam di Indonesia, maknanya adalah dua ratus juta singa. Penguasa belantara dunia. Itulah yang sebenarnya. Sayangnya, dua ratus juta yang sebenarnya adalah singa justru bermental kambing dan berperilaku layaknya kambing. Bukan layaknya singa. Lebih memperihatinkan lagi, ada yang sudah menyadari dirinya sesungguhnya singa tapi memilih untuk tetap menjadi kambing. Karena telah terbiasa menjadi kambing maka ia malu menjadi singa! Malu untuk maju dan berprestasi!
Yang lebih memprihatinkan lagi, mereka yang memilih tetap menjadi kambing itu menginginkan yang lain tetap menjadi kambing. Mereka ingin tetap jadi kambing sebab merasa tidak mampu jadi singa dan merasa nyaman jadi kambing. Yang menyedihkan, mereka tidak ingin orang lain jadi singa. Bahkan mereka ingin orang lain jadi kambing yang lebih bodoh!
Marilah kita hayati diri kita sebagai seekor singa. Allah telah memberi predikat kepada kita sebagai ummat terbaik di muka bumi ini. Marilah kita bermental menjadi ummat terbaik. Jangan bermental ummat yang terbelakang. Allah berfirman,
”Kalian adalah sebaik baik ummat yang dilahirkan untuk manusia, karena kalian menyuruh berbuat yang makruf, mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.!” (surah Al Imran: 110)
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh!”
Pidato motivasi yang disampaikan Azzam membuat dada para santri membara oleh semangat. Ketika Azzam turun, ia langsung disambut dengan takbir yang menggema di seluruh masjid. Pak Kiai Lutfi langsung memeluknya erat-erat dan mengatakan, ”Aku cinta padamu Nak! Ini aku hadiahi kamu sorban yang paling kucintai, sorban pendiri pesantren ini!” Azzam menerima sorban itu dengan linangan air mata.
* * *
Dengan hati bergetar Azzam mengiringi Kiai Lutfi ke rumah. Ia lihat dengan ujung matanya Anna dan Umminya sudah masuk duluan. Ia sudah punya isteri. Inilah rezeki yang tidak di sangka-sangka datangnya.
Begitu sampai Bu Nyai Nur langsung berkata kepadanya, ”Langsung naiklah ke atas Nak! Isterimu sudah menunggu di sana. Di atas Cuma ada dua kamar, perpustakaan dan kamar isterimu. Kamar isterimu yang ada di sebelah kanan. Yang pintunya ada tulisannya Anna .”
Azzam agak ragu.
”Jangan ragu, naiklah! Ini juga rumahmu.” Kata Kiai Lutfi menguatkan.
Azzam naik ke atas. Hatinya berdegup kencang ketika sampai di sebuah kamar yang ada tulisannya Anna. Ia ketuk kamar itu pelan sambil mengucapkan salam. Ada suara yang bening menjawab dari dalam. Pintu terbuka perlahan. Dan tampaklah bidadari itu di hadapannya. Azzam masuk. Anna mengunci pintunya. Azzam memandang Anna dengan mata berkaca-kaca. Anna memakai jilbab dan baju birunya. Jilbab dan baju biru yang ia kenakan saat pertama bertemu di Cairo. Saat ia menolong gadis yang kini jadi isterinya itu dengan memberinya tumpangan taksi. Anna menunduk malu. Dalam terpaan temaram cahaya lampu tidur Anna tampak begitu jelita. Bau harum wangi yasmin merasuk jiwa. Azzam maju dan mengangkat wajah isterinya, lalu lirih berkata,
”Apakah kau ridha dinikahkan Abahmu denganku?” Anna menganggukkan kepala. Ternggorokannya tercekak haru. Ia seperti tak mampu bicara.
”Kalau begitu duduklah, aku akan membacakan doa barakah.” Anna menuruti perintah Azzam. Ia duduk di samping ranjang.
Azzam duduk di samping isterinya. Ia meletakkan sorban pemberian Kiai Lutfi ke ranjang, lalu pelan tangan kanannya memegang ubunubun isterinya dan membacakan doa barakah yang diajarkan Rasulullah. Anna mengamini dengan air mata meleleh.
”Ayo kita sholat dulu!”
”Baik Mas.”
Mereka mengambil air wudhu lalu shalat. Selesai shalat Azzam berdoa lagi. Anna mengamini. Setelah itu perlahan Anna melepas mukenanya. Di balik mukena Anna memakai baju dan bawahan biru. Azzam berdiri dan berkata pada Anna,
”Maaf Dik, aku harus pulang.”
”Pulang ke mana?”
”Ke Sraten. Kasihan Husna dan Lia.”
”Mas tidak boleh pulang. Malam ini harus tidur di kamar ini.”
”Mereka nanti cemas kalau Mas tidak pulang.”
”Jangan khawatir Husna tadi sudah aku beritahu lewat handphone, sebelum Mas masuk kamar ini. Dia titip salam.”
”Tapi aku harus pulang, ada urusan yang Husna tidak tahu.”
”Apa itu?”
”Memberi bumbu adonan bakso.”
”Apakah bakso itu lebih berharga dari isterimu ini Mas.”
”Tidak Dik, tentu kau lebih berharga. Bahkan dibanding dengan dunia seisinya.”
”Kalau begitu sekarang lakukanlah tugasmu sebagai seorang suami.”
Ucap Anna pelan. Jari-jari Anna memegang kancing baju birunya. Azzam melihat dengan hati bergetar.
”Tunggu isteriku!”
”Kenapa?”
Azzam maju lalu perlahan mencium kening isterinya. Dengan suara halus Azzam berkata kepada isterinya, ”Ini bukan tugasmu, ini tugas suamimu!” Ia merebahkan isterinya pelan-pelan. Dengan mata berlinang Anna berkata, ”Mas Azzam, aku punya puisi untukmu, mau kau mendengarkan?”
Azzam mengangguk dengan tangan terus bekerja untuk menyempurnakan ibadah dua insan yang dimabuk cinta. Anna berkata kepada Azzam:
Kaulah kekasihku Bukalah cadarku Sentuh suteraku Muliakan
mahkotaku Nikmati jamuanku Jangan khianati aku!
Azzam tersenyum, lalu mencium kembali kening isterinya. Lalu ia membalas,
Bismillah, Kemaril ah cintaku Akan kubuka cadarmu dengan cintaku
Akan kusentuh suteramu dengan cintaku Akan kumuliakan
mahkotamu dengan cintaku Dan kunikmati jamuanmu dengan
cintaku Tak mungkin aku mengkhianatimu Karena aku cinta padamu
mahkotaku Nikmati jamuanku Jangan khianati aku!
Azzam tersenyum, lalu mencium kembali kening isterinya. Lalu ia membalas,
Bismillah, Kemaril ah cintaku Akan kubuka cadarmu dengan cintaku
Akan kusentuh suteramu dengan cintaku Akan kumuliakan
mahkotamu dengan cintaku Dan kunikmati jamuanmu dengan
cintaku Tak mungkin aku mengkhianatimu Karena aku cinta padamu
Kedua insan itu bertasbih menyempurnakan ibadah mereka sebagai hamba-hamba Allah yang mengikuti sunnah para nabi dan rasul yang mulia. Malam begitu indah. Rembulan mengintip malu di balik pepohonan. Rerumputan bergoyang-goyang bertasbih dan bersembahyang. Malam itu Azzam dan Anna merasa menjadi hamba yang sangat disayang Tuhan.
Selesai shalat subuh, Azzam membaca Al Quran disimak oleh isterinya tersayang. Setengah juz ia baca dengan tartil dan penuh penghayatan. Ia telah melewatkan malam yang tak akan terlupakan selama hidupnya. Anna tampak begitu ranum dan segar. Senyumnya mengembang ketika suaminya selesai membaca Al Quran.
”Mau apa pagi ini sayang?” Tanya Anna.
”Terserah kau.”
”Bagaimana kalau kita buka internet. Aku akan beritahu temanteman di Cairo bahwa aku sudah tidak janda lagi.”
”Boleh, tapi di mana kita buka internet?”
”Di kamar samping. Komputernya ada line internetnya.”
”Baik. Ayo kita ke sana.”
Suami isteri itu lalu beranjak ke perpustakaan dan membuka internet. Ketika mereka sedang berduaan di depan komputer, Kiai Lutfi masuk ke perpustakaan. Kiai Lutfi tersenyum, lalu balik kanan, sebelum pergi Kiai Lutfi bertanya pada Anna dengan nada canda,
”Nduk bagaimana jago yang Abah pilihkan?”
”Pilihan Abah tepat. Jagonya lebih hebat dari elang!” Jawab Anna sekenanya.
Azzam langsung menguyek-uyek kepala isterinya dengan rasa cinta dan sayang.
Anna melihat inbox emailnya. Email terbaru dari Furqan. Ia ingin melewati email itu, tapi Azzam berkata, ”Coba buka emailnya apa isinya?”
Mau tidak mau Anna membuka email mantan suaminya itu. Pelanpelan email itu mereka baca berdua:
Untuk Anna Di Kartasura
Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuh. Semoga kau, Abahmu, Ummimu, dan seluruh keluarga...........
”Karena dipaksa, ya baiklah, dengan senang hati isteriku.” Ucap Azzam pelan di telinga isterinya. Mereka berdua kembali ke kamar dan menutup pintu kamar. Anna kembali membacakan puisinya dengan sepenuh jiwa, Azzam menjawab dengan suara bergetar,
Akan kumuliakan mahkotamu dengan cintaku
Dan kunikmati jamuanmu dengan cintaku
Tak mungkin aku mengkhianatimu Karena aku cinta padamu
Kedua insan itu kembali bertasbih menyempurnakan ibadah mereka sebagai hamba-hamba Allah yang mengikuti sunnah para nabi dan rasul yang mulia. Pagi begitu indah. Sang Surya mengintip malu di balik pepohonan. Rerumputan bergoyang-goyang bertasbih dan bersembahyang. Pagi itu Azzam dan Anna kembali merasa menjadi hamba yang sangat disayang Tuhan. Fa biayyi aalaai
*****************THE END********************
dapatkan kesinambungan Ketika Cinta Bertasbih 3
DARI SUJUD KE SUJUD dipasaran
No comments:
Post a Comment